Jakarta, iloenxnews.com || Hari ini, Kamis (20/2/2025), sejarah baru bakal terukir di pemerintahan daerah, mungkin bisa masuk rekor MURI. Para kepala daerah dan wakil kepala hasil Pilkada serentak 27 November 2024, dilantik serentak secara terpusat oleh Presiden Prabowo Subianto di Jakarta (962 orang).

Kecuali, bagi 40 daerah yang masih belum selesai sengketanya di MK akan menyusul pelantikannya kemudian.

Selain itu, bagi Aceh, pelantikan gubernur dan wakilnya dilaksanakan tidak terpusat, tapi oleh Mendagri di ibu kota provinsi, dan kepala daerah kabupaten/kotanya dilantik oleh gubernur di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah dalam rapat paripurna DPR Kabupaten/Kota mengikuti aturan khusus sesuai UU Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006 yang merupakan tindak lanjut dari MoU Helsinki (Perdamaian Aceh).

Bagaimanakah sebetulnya penyelenggaraan pelantikan pemimpin Pemda dari Sabang sampai Merauke yang afdhol sesuai semangat otonomi daerah yang mengadopsi sistem Pilkada langsung secara serentak di provinsi maupun kabupaten/kota? Mari kita coba mendiskusikannya.

Dalam sistem otonomi daerah bertingkat (multi-level government), apa lagi dengan corak sistem prefektur terintegrasi atau gubernur di samping sebagai kepala daerah otonom provinsi juga merangkap posisi sebagai wakil pemerintah pusat (dual-roles), maka pemerintah pusat melimpahkan kewenangan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bupati/wali kota agar punya kapasitas dan terhindar dari penyimpangan dalam melaksanakan UU.

Guna membuat gubernur berwibawa lebih-lebih mereka sama-sama dipilih langsung dan bantuan keuangan provinsi kepada kabupaten/kota kecil pula, pelantikan bupati/wali kota sudah tepat jika dilakukan oleh gubernur.

Tradisi ini sudah diterapkan sejak zaman Soeharto. Biasanya sebelum diambil sumpah/janji jabatan, pejabat yang melantik mengucapkan kalimat penting, yaitu: “ikuti kata-kata saya”, yang bisa dimaknai patuhlah kepada saya (baca: gubernur!).

Bila pelantikan bupati/wali kota diambil alih oleh presiden, dan pelantikan mereka sama-sama pula oleh presiden, bupati/wali kota makin kurang respek pada gubernur, sehingga konflik bupati/wali kota Vs gubernur yang kerap terjadi selama ini akan makin menjadi.

Jangan heran bila nanti makin ramai bupati/wali kota yang berani mengusir gubernur bila berkunjung ke wilayah administratifnya. Jangan heran pula bila nanti ada gubernur yang tidak mau membantu wali kota membangun ibu kota provinsi tempat gubernur berdomisili.

Jadi, pelantikan semua kepala daerah ini tanpa pandang bulu oleh presiden menyalahi prinsip pemerintahan bertingkat, dan bakal berdampak terhadap koordinasi, pembinaan dan pengawasan provinsi terhadap kabupaten/kota yang akan merugikan pemerintah pusat sendiri.

Secara yuridis, pelantikan semua kepala daerah hasil Pilkada serentak nasional oleh presiden juga mengandung polemik.

Karena, pasal 164 B UU Pilkada No.10 Tahun 2016 memang membolehkan presiden melantik semua kepala daerah, tapi itu bersifat opsional, karena ada kata “dapat” melantik.

Sedangkan dalam Pasal 163 dan 164 UU tersebut, secara eksplisit dinyatakan gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh presiden di ibu kota negara, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh gubernur di ibu kota provinsi.
(kompas.com)
Editor : Sandro Gatra